A. Konsep menuntut ilmu dan menghargai waktu
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١١
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa drajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yanga kamu kerjakan. (Q.S al-Mujadalah, 58:11)[1]
Kata llmu berasal dari bahasa arab ‘ilm yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Sumber lain mengatakan bahwa kata ‘ilm adalah bentuk masdar dari ‘alima, ya’lamu-ilman. Menurut Ibn Zakaria, pengarah buku Mu’jam Maqayis al-Lughah bahwa kata ‘ilm mempunyai arti denotatif “bekas sesuatu yang dengannya dapat dibedakan sesuatau dari yang lainnya. Menurut ibn Mazur ‘ilm adalah antonim dari tidak tahu (naqid al-jahl), sedangkan menurut al-asfahani dan al-anbari, ‘ilm adalah mengetahui hakikat sesuatu (idrat al-sya’i bi haqq qatib).
Kata ilmu biasa disepadankan dengan kata arab lainnya, yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan) dan syu’ur (perasaan). Ma’rifah adalah padanan kata yang sering digunakan. Ada dua jenis pengetahuan, pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan, seperti perasaan, pikiran, pengalaman, panca indra, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan obyek, cara dan kegunaannya. Dalam bahasa Inggris jenis pengetahuan ini disebut knowledge. Pengetahuan ilmiah juga merupakan bentuk keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan memperhatikan obyek yang ditelaah dan kegunaan pengetahuan tersebut. Ilmu yang dimaksudkan disini adalah pengetahuan jenis kedua. Orang yang akan diangkat derajatnya disisi Allah sebagaimana disebutkan ayat diatas adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan atau science (sains).
Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam Al-Qur’an dan bimbingan Nabi Muhammad mengenai wahyu tersebut. Al-’ilm itu sendiri dikenal dengan sifat utama Allah SWT. dalam bentuk kata yang berbeda, Allah SWT. disebut juga sebagai al-‘alim, yang artinya yang Maha mengetahui. Ilmu adalah salah satu dari sifat utama Allah SWT dan merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta bisa digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT.[2]
Al-Ghazali menyebut dalam klasifikasinya, ilmu fardu’ain dan ilmu fardu kifayah. Istilah fardu ‘ain merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap muslim dan muslimah. Ilmu fardu ‘ain adalah ilmu yang wajib dituntut, dcari dan diamalkan oleh setiap agama Islam. Istilah fardhu kifayah merujuk pada hal-hal yang merupakan perintah illahi yang mengikat komunitas muslim dan muslimat sebagai satu kesatuan tidak mengikat setiap anggota komunitas.
Jika klasifikasi Al-Ghazali tersebut di atas dihubungkan dengan ilmu, maka menuntut ilmu merupakan kewajiban manusia laki-laki dan perempuan, tua dan muda, orang dewasa dan anak-anak menurut cara-cara yang sesuai dengan keadaan, bakat dan kemampuan. Bahwa mencari dan menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat (tanpa membedakan jenis kelamin) dasarnya terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits.
Wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad dari Allah adalah kalimat, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu…” Perintah ini mewajibkan orang membaca, artinya membaca semua ciptaan (ayat-ayat)Allah, termasuk al-Qur’an di dalamnya. Ini berarti bahwa pengetahuan harus dicari dan diperoleh karena Allah. ini bermakna pula bahwa wawasan tentag Ketuhanan Yang Maha Esa (Allah) yang memberi dasar hakiki bagi pengetahuan, harus menyertai proses pendidikan dalam semua tahap. Allah tidak saja berada pada awal pengetahuan, tetapi juga pada akhirnya, menyertai dan memberkati keseluruhan proses belajar mengajar. Dalam proses ini, wawasan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak boleh dilupakan sesaat pun. Oleh karena Allah dan sifatnya disampaikan kepada kita melalui Al-Qur’an, dan kita mengetahui tentang Allah melalui apa yang diwahyukan-Nya dalam Al-Qur’an, maka dapat dikatakan bahwa sifat-sifat Allah seperti yang disebutkan dalam kitab suci itu nerupakan sumber otentik pengetahuan kita tentang Allah. Salah satu sifat Allah yang disebut dalam al-Qur’an adalah ‘Alim, yang berarti “Yang Memiliki Pengetahuan”. Oleh karena itu pula memiliki pengetahuan merupakan sifat Ilahi dan mencari pengetahuan, merupakan kewajiban bagi setiap orang beriman.
Mencari dan menyerap dalam diri manusia sebanyak mungkin sifat-sifat Allah, termsuk pengetahuan, sehingga wawasan tentang Allah menjadi darah daging kehidupan manusia. Namun demikian, tidak semua sifat Allah dapat diserap oleh manusia, karena kodrat dn kemampuannya yang terbatas. Tetapi setiap manusia pasti dapat memiliki sifat Ilahi sebanyak yang diperlukannya untuk pemenuhan dan perealisasian dirinya. Salah satu di antaranya adalah pengetahuan, karena tanpa itu pemenuhan aktualisasi diri tidak mungkin diwujudkan. Pengetahuanlah yang membedakan manusia dan semua makhluk lainnya. Melalui pengetahuan kita dapat mencapai kebenaran. Kebenaran (al-Haqq) adalah nama lain dari Yang Nyata dan Yang Hakiki (Allah).
Karena pentingnya ilmu, al-Qur’an ilmu, al-Qur’an menyebutkan perbedaan yang jelas antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Menurut al-Qur’an hanya orang-orang yang berakal (yang berilmu) yang dapat menerima pelajaran. Seperti firman Allah di dalam Al-Qur’an berikut ini:
Artinya:
“Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar: 9)
Hanya orang-orang yang berilmu yang takut kepada Allah bersama dengan para malaikat. Hanya orang-orang yang berilmu yang mampu memahami hakikat yang sesuatu yang disampaikan Allah. karena itu, para nabi sebagai manusia-manusia terbaik, dikaruniai pengetahuan. Misalnya menunjukkan kepada nabi Ibrahim kerajaan langit dan bumi seperti firman Allah di dalam al-Qur’an berikut:
Artinya:
“dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin.” (QS. Al-An’am: 75)
Di samping itu kepada nabi-nabi tertentu, Allah memberi ilmu khusus sehingga ia mempunyai kemampuan yang unik. Misalnya kepada nabi Yusuf, Allah memberikan ilmu untuk menjelaskan arti sebuah mimpi. Seperti firman Allah dalam al-Qur’an:
Artinya:
“Dan Demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Yusuf:6)
Kepada Nabi Muhammad pun Allah memberi berbagai ilmu. Ilmu yang diberikan kepada Nabi Muhammad tercermin dalam kehidupannya sebagai Rasulullah. Oleh karena itu pula dapat dikatakan bahwa kehidupan Rasulullah adalah contoh hidup Al-Qur’an atau dengan perkataan lain Al-Qur’an dalam praktik. Ilmu yang terdapat di dalam Al-Qur’an diteladani oleh Nabi melalui ucapan, perbuatan dan sikap beliau. Karena itu, sunnah Rasulullah yang kini terdapat dalam kitab-kitab hadis menjadi sumber pengetahuan yang kedua. Menurut sunnah Nabi Muhammad, manusia dalam hubungannya mencari ilmu dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) orang yang berilmu (‘alim), (2) pencari ilmu (muta’allim) dan (3) orang awam. Para ilmuwan (‘alim, ‘ulama) menurut sunnah Rasulullah adalah pewaris para nabi. Tinta mereka lebih mulia dari darah orang yang mati syahid. Tuhan akan memudahkan jalan ke surge bagi orang-orang yang berilmu. “Ilmuwan” kata beliau, “akan berada di tengah-tengah para Nabi dan syuhada (orang yang mati syahid) di hadapan Tuhan di akhirat nanti.
Karena pentingnya mencari ilmu, Allah memerintahkan manusia untuk berdo’a agar ilmunya bertambah, “Tuhanku tambahlah ilmuku”. Namun, Nabi menegaskan bahwa do’a harus diiringi dengan ikhtiar, sebab satu jam belajar lebih baik dari berdo’a (supaya ilmu bertambah tanpa ikhtiar) selama enam puluh tahun. Beliau memerintahkan agar semua orang mencari ilmu, belajar walau sampai ke negeri China sekalipun. Mencari ilmu di wajibkan bagi setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, mulai dari kelahiran (ayunan) sampai kematian (liang lahat). Artinya ialah ilmu wajib dituntut, dicari setiap orang, selama hayat dikandung badan, dimanapun ilmu itu berada. “carilah ilmu” demikian pesan Rasulullah, karena orang yang mencari ilmu berjalan di jalan Allah, melakukan ibadah. Barangsiapa yang mencari ilmu, ia memuja Tuhan, yang mengajarkan ilmu, berarti ia member sedekah. Ilmu yang bermanfaat yang diajarkan kepada orang lain akan mendatangkan pahala terus menerus bagi yang mengajarkannya. “carilah ilmu” kata Rasulullah, karena ilmu dapat memberikan kepada yang memiliki pengetahuan untuk membedakan apa yang terlarang dan apa yang tidak, menerangi jalan ke surga, kawan diwaktu sepi, dan teman apabila kita kehilangan sahabat. Ilmu memimpin kita kepada kebahagiaan, menghibur kita dalam duka, perhiasan dalam pergaulan, perisai terhadap musuh. Dengan ilmu hamba Allah mencapai kebaikan, memperoleh kedudukan yang mulia, dapat berhubunga dengan raja-raja di dunia dan kebahagiaan akhirat.
Mencari ilmu sampai ke negeri China, kalau perlu, ilmu diatas mengandung makna bahwa ilmu yang dituntut dan dicari tidak hanya ilmu agama, tetapi semua ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan manuisa baik di dunia maupun di akhirat kelak. Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang menginginkan kebaikan di dunia hendaklah ia mencari ilmu; barangsiapa menginginkan kebaikan di akhirat hendaknya ia mencari ilmu; dan barangsiapa menginginkan keduanya, hendaklah ia mencari ilmu. Sebab kebaikan dunia dan akhirat (kedua-duanya) hanya dapat diperoleh dengan ilmu.
Pentingnya ilmu menurut agama Islam, dorongan serta kewajiban mencari dan menuntut ilmu seperti penjelasan diatas telah menjadikan dunia Islam pada masa lampau menjadi pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan. Di masa yang akan datang, kejayaan di zaman lampau itu kemungkinan dapat terjadi lagi, apabila pemeluk agama Islam menyadari makna Islam sebagaimana firman Allah yang artinya kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, mempelajari dan mengamalkan agama serta ajaran Islam secara menyeluruh.[3]
B. Surah-surah pendek tentang menuntut ilmu dan menghargai waktu menurut Al-Qur’an beserta kandungannya
1. Surah Al ‘alaq ayat 1-5 tentang pentingnya menuntut ilmu[4]
a. Lafadz surat Al ‘Alaq
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ ١
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥
Artinya:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah, 3. Bacalah, dan Rabbmulah Yang paling Pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam, 5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
b. Kandungan surat Al ‘Alaq
Surah Al-Alaq ini dinamai juga surah Al-Qolam atau Iqra. Surah ini termasuk dalam kategori surh Makiyah dengan jumlah ayatnya 19 ayat. Dalam surah Al-‘Alaq ini, ditegaskan bahwasannya Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah SWT untuk membaca yang dibarengi dengan kekuatan (Qudrat) Allah bersama manusia, dan penjelasan sebagai sifat-sifat-Nya, kemudian Allah SWT menjelaskan perumpamaan yang menunjukkan terhadap sebagai penentang individunya berikut balasan pahala yang menjalankan amalnya.[5]
Lima ayat pertama dalam surat Al ‘alaq merupakan ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW. sebagai penanda kenabiannya. Saat itu Beliau sedang berkhalwah/menyendiri di Gua Hira, datanglah malaikat kepadanya dan mengatakan, iqra’/bacalah!. Rasulullah menjawab “ma ana biqariin/saya tidak dapat membaca”. Hal tersebut diulang-ulang oleh malaikat sampai tiga kali dan Rasulullah pun menjawab yang sama sampai tiga kali., akhirnya malaikat membacakan surat Al ‘Alaq ayat 1 sampai 5 tersebut.
Dalam ayat tersebut, Allah mengawali dengan fi’il amr, artinya kata kerja perintah, yang menunjukkan untuk dilaksanakan. Perintah tersebut adalah perintah membaca, belajar, menuntut ilmu, membaca segala sesuatu yang ada dalam alam semesta, baik ayat-ayat kauniyah/alam semesta, maupun ayat-ayat qauliyah yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan dilandasi menyebut nama Allah.
Berkenaan dengan ayat kauniyah ini, Allah berfirman:
وَفِي ٱلۡأَرۡضِ ءَايَٰتٞ لِّلۡمُوقِنِينَ ٢٠ وَفِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ ٢١
Artinya:
Dan di bumi ini terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan”. (Q.S Adz Dzariyat: 20-21.
Menurut Baiquni, ayat tersebut juga mengandung perintah agar manusia memiliki keimanan, yaitu berupa keyakinan terhadap adanya kekuasaan dan kehendak Allah SWT, juga mengandung pesan ontology tentang sumber ilmu pengetahuan. Pada ayat tersebut Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad SAW agar membaca. Sedangkan yang dibaca itu objeknya bermacam-macam. Yaitu ada yang berupa ayat-ayat Allah yang tertulis sebagaimana surah Al-Alaq itu sendiri, dan dapat pula ayat-ayat Allah yang tidak tertulis seperti yang terdapat pada alam jagad raya dengan segala hukum kasualitas yang ada di dalamnya, dan pada diri manusia.berbagai ayat tersebut jika dibaca dalam arti telaah, di observasi, diidentifikasi, dikategorisasi, dibandingkan, dianalisa dan disimpulkan dapat menghasilkan ilmu pengetahuan.[6]
Sementara dalam ayat yang kedua Allah menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari ‘alaqah/segumpal darah. Proses kejadian manusia ini lebih jelas dipaparkan Allah dalam surah Al Mukminun ayat 12-14
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ ١٢ ثُمَّ جَعَلۡنَٰهُ نُطۡفَةٗ فِي قَرَارٖ مَّكِينٖ ١٣ ثُمَّ خَلَقۡنَا ٱلنُّطۡفَةَ عَلَقَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ مُضۡغَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡمُضۡغَةَ عِظَٰمٗا فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ ١٤
Artinya:
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Q.S Al Mukminun: 12-14).
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan proses kejadian manusia yang berawal dari saripati tanah, kemudian nutfah (ziqot), kemudian ‘alaqah (segumpal darah), kemudian mudghah (segumpal darah) dan kemudian ‘idhama (tulang belulang).
Pada ayat ketiga menegaskan kembali tentang perlunya membaca segala sesuatu, belajar, menuntut ilmu dengan tidak melupakan Allah yang Maha Mulia. Setinggi apapun manusi belajar, mereka tidak boleh melupakan Allah yang menciptakan dan Allah yang Maha Mulia. Dan ini dipertegas dengan ayat-ayat yang keempat dan kelima, bahwa Allah yang mengajari manusia dari apa yang mereka tidak ketahui. Allah yang Maha Memiliki ilmu, sedangkan manusia hanyalah sedikit ilmu yang dimiliki. Karena Allah yang mengajari manusia, tentang segala sesuatu, baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.
Allah yang memberi kelengkapan dan kesempurnaan kepada manusia, baik pendengaran, penglihatan, hati agar mereka menjadi orang-orang yang bersyukur.
Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 78.
وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡٔٗا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفِۡٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٧٨
Artinya:
“Dan Allah mengelurkan kmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (Q.S An Nahl: 78)
Demikianlah Allah menjelaskan akan pentingnya belajar, menunutut ilmu dan membaca apa saja yang ada disekitar kita, baik berupa ayat-ayat kauniyah maupun yat-ayat qauliyah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam surah Al Ashr Allah membicarakan tentang pentingnya waktu bagi manusia agar tidak menjadi orang-orang yang rugi, sedangkandalam surah Al ‘Alaq ayat 1-5 Allah menjelaskan tentang pentingnya menuntut lmu.
2. Surah Al Ashr tentang pentingnya menghargai waktu[7]
a. Lafadz surat Al Ashr
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ ١
وَٱلۡعَصۡرِ ١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
Artinya:
1. Demi masa, 2. sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
b. Kandungan surat Al Ashr
Didalam surah Al Ashr, Allah memulainya dengan kalimat “wawu” yang dalam pengertian bahasa arab berarti “wawu qasam atau wawu sumpah. Artinya, apa yang disampaikan Allah dalam surah Al Ashr tersebut benar-benar penting, sehingga Allah perlu mendahuluinya dengan sumpah terhadap masa atau waktu yang ini hanya menjadi hak Allah.
Seperti kalau seseorang ingin menyakinkan orang lain, jika tidak mampu, maka kalimat terakhir yang akan keluar adalah kalimat “sumpah”. Dengan kalimat ini, ia tidak peduli apakah orang mau percaya atau tidak terhadap yang ia katakan, yang jelas ia ingin menjelaskan dengan sebenar-benarnya.
Begitu pula dalam surat Al Ashr, Allah ingin menjelaskan kepada manusia dengan kalimat yang jelas dan gamblang, bahwa manusia hakekatnya dalam kerugian, kecuali tiga hal. Pertama orang-orang yang beriman. Kedua, orang-orang yang beramal shaleh dan ketiga orang-orang yang saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
1) Beriman kepada Allah
Beriman artinya yakin dan percaya. Orang yang beriman adalah orang yang menyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan melaksanakan dengan amal perbuatan. Keyakinan ini harus sempurna dan mantap, tidak dapat dicampur dengan keragu-raguan. Keyakinan dalam hati adalah bentuk keyakinan dalam hal tauhid rububiyah Allah. Artinya setiap makhluk mempunyai keyakinan rububiyah, bahwa Allah Pencipta, Pengatur, Pemberi rizki, dan lain sebaginya. Sedangkan bukti atas keyakinan tersebut adalah melaksanakan dalam amal ibadah atau yang biasa disebut dengan tauhid uluhiyah, yaitu tunduk dan patuh terhadap terhadap perintah Allah. Hal inilah yang membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang yang tidak beriman dalam hal tauhid uluhiyah.
Karena itu, iman dan amal adalah kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Karena itu ahlu sunnah wal jama’ah menyakini keimanan yang benar mencakup keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan dan amalan dengan anggota badan.
2) Beramal shaleh
Beramal shaleh artinya beramal yang baik, yaitu beramal dengan ikhlas sesuai dengan tuntutan Rasulullah SAW. amal shaleh merupakan wujud dari keyakinan yang benar dan realisasi dari keimanan seseorang kepada Allah. Iman inilah yang melahirkan amal shaleh.
Karena itu, keimanan yang benar akan melahirkan amal shaleh yang bernilai ibadah, sebaliknya keimanan yang keliru akan menghasilkan yang salah dan tidak mendapatkan pahala dari Allah.
3) Menasehati dalam kebenaran dan kesabaran
Saling menasehti dalam kebenaran artinya menasehati dalam Islam. Mau menerima nasehat, karena hakekatnya agama ini adalah nasehat sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits. Orang yang menolak nasehat hakekatnya orang yang sombong kepada Allah. Karena itu kesombongan kata Rasulullah “kesombongan adalah orang yang menolak kebenaran dan meremehkan manusia”.
Sedangkan kesabaran dalam kehidupan ini, ulama membagi dalam tia hal:
a) Kesabaran dalam ketaatan kepada Allah
b) Kesabaran dalam menghadapi musibah
c) Kesabaran untuk mampu menahan dan menjauhkan diri dari maksiat.
1. Hadits menuntut ilmu
عن ابيْ الدرداء رضي للهءنه قال: سمعت رسول الله ص.م. فضل العالم على العابدكفضل القمرليلةالبدرعلى ىسائرالكوكب وان
العلماءورثةالانبياء و ان الانبياءلم يورث ديناراولادرهماانماورثواالعلم فمن اخده اخد بحظ وافر(رواه ابوداودوالترمذى وابن ماجه)
Artinya:
“Dari Abu Darda’ RA. Ia berkata: saya telah mendengar Rosulullah SAW. Bersabda, keutamaan orang yang berilmu terhada orang yang beribadah, ibarat keutamaan bulan terhadap orang yang beribadah, Ibarat keutamaan bulan terhadap seluruh bintang-bintang. Dan sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan uang dinar dan juga tidak juga uang dirham. Mereka para nabi hanyalah mewariskan ilmu pengetahuan. Maka barang siapa yang mengambil ilmu itu, berati ia telah mengambil bagian yang sempurna.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
2. Hadits Menghargai Waktu
اغتنم خمساقبل خمس,سبابك قبل هرمك وصحتك قبل سقمك, وصحتك قبل سقمك, وفراغك قبل شغلك وغناك قبل فقرك وحياتك قبل موتك (رواه بخاري مسلم )
Artinya:
“Jagalah 5 perkara sebelum datang 5 perkara: Masa mudamu sebelum masa tuamu, dan masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu,dan masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan sebelum masa kayamu sebelum datang masa fakirmu, dan masa hidupmu sebelum datang masa matimu.” (HR. Bukhari Muslim)
Pernahkah kamu melihat seorang dai berceramah? Pernahkah kamu melihat menara menjulang tinggi seperti monument nasional? Mengapa manusia bisa pergi ke angkasa? Mengapa manusia bisa bertahan hidup selama 5 jam didalam laut?mengapa kita bisa berbicara dengan manusia lain yang jauh letaknya dari kita? Jawabannya adalah mudah, karena ilmu. Semua yang ada di dalam alam ini bisa dikembangkan berkat ilmu yang dimiliki oleh manusia.
Pernahkah kamu memeperhatikan lingkungan tempat tinggalmu? Adakah orang-orang yang berilmu, baik mereka yang memilikinilmu agama ataupun ilmu pengetahuan umum? Bagaimana peran serta mereka? Bagaimana lingkungan memperhatikan dan menghormati, juga menghargainya?
Keberadaan orang berilmu ditempat tinggal ditempat tinggal mereka bagaikan pelita yang memberikan cahaya terang. Dengan ilmu, derajat manusia terangkat, dengan ilmu manusia bisa membedakan yang halal dan yang haram, dengan ilmu manusia bisa membedakan anatara yang haq dan kewajiban dan dengan ilmu juga setiap persoalan bisa dipecahkan dengan baik dan dapat diterima semua pihak.
Maka sudah sewajarnya pula Allah meninggikan derajat orang yang berilmu lagi beriman. Demikian pula sabda-sabda rosul yang menguatkan keberadaan orang yang berilmu daripada oran-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan.
Selain pentingnya menuntut ilmu, nabi Muhammad SAW, juga menjelaskan pentingnya menghargai waktu pada hadis yang kedua. Inti hadis tersebut mengisyaratkan kepada kita agar menggunakan waktu muda untuk berbuat kebajikan, sebelum datang masa tua kita. Karena sebaik-baik waktu untuk berbuat dan beramal adalah pada waktu/masa muda. Coba kalau waktu tua sudah datang, bisakah kita melakukan pekerjaan seperti pada masa muda? Pasti kekuatan pada masa muda berbeda jauh dengan masa tua kita juga diisyaratkan oleh nabi Muhammad SAW, untuk memanfaatkan waktu sehat sebelum datang waktu sakit, dan waktu longgar/ luang sebelum masa sibuk, dan masa kaya sebelum datang masa fakir, dan masa hidup sebelum datang masa mati.
Kehidupan seseorang diatur oleh Allah SWT. Kita tidak pernah mengetahui kapan akan mengalami sakit, miskin dan mati. Sangat lah mudah bagi Allah untuk mendatangkan sakit, miskin, dan mati. Kehidupan manusia berputar, kadang sehat, kadang sakit, kadang kaya, dan kadang bisa sangat fakir. Oleh karena itu, manfaatkanlah waktu kehidupan seoptimal mungkin karena kita tidak akan bisa berbuat seoptimal mungkin jika mengalami sakit ataupun fakir,dan kita sudah dan tidak berbuat apa-apa lagi jika ajal telah menjemput.
Sumber: Makalah Menghargai Waktu Karya (Inayatur R, Suci Nur Alifah, Indah Nurmawati) pada mata Kuliah Studi Al-Qur’an Hadis MTs-MA di smester IV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar