Halaman

Khulafaur Rasyidin

1.      Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13H/632-634M)
Dia bernama Abdullah bin Utsman bin Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim. Dia diberi gelar Atiq, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Shiddiq. Pada masa jahiliah dia merupakan salah seorang yang sangat terpandang di kalangan Quraisy. Dia adalah sahabat Rasulullah pada masa jahiliah dan orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan tua. Dia dianggap sebagai orang kedua dalam Islam setelah Rasulullah.[1]
Abu Bakar selalu setia menemani Rasulullah sejak masuk Islam hingga Rasulullah wafat. Dia berhijrah bersama Rasulullah ke Madinah dan orang yang menemani Rasulullah di dalam gua pada saat hijrah. Abu Bakar selalu terlibat dalam semua peristiwa yang dialami Rasulullah. Abu bakar dikenal sebagai salah seorang pemberani yang selalu gagah di segala medan perang. Dia tidak akan geser dari sisi Rasulullah dan selalu membela dan membentenginya. Abu Bakar dikenal sebagai sosok yang dermawan dan menginfakkan sebagian besar hartanya di jalan Allah.
Sepeninggal Rasulullah banyak masalah yang dihadapi para sahabat, mulai dari soal pemurtadan, keberadaan nabi palsu, keengganan membayar pajak, hingga persoalan politik menyangkut suksesi kepemimpinan pasca kenabian. Permasalahan-permasalahan tersebut segera diantisipasi dan dengan kemampuan para sahabat permasalahan yang muncul dapat diselesaikan. Dengan mengedepankan musyawarah, para sahabat meski bersitegang dan terjadi perdebatan di Saqifah Bani Saidah, akhirnya berhasil menentukan Abu Bakar As-Shiddiq sebagai pengganti kepala pemerintahan dan langsung mendapat baiat dari para sahabat, kaum anshar dan muhajirin.
Abu bakar sebagai pemimpin pengganti Rasulullah pemerintahannya dalam rentang waktu yang sangat pendek selama 2 tahun, mulai 632-634 M. Selama menjalankan pemerintahan, Abu bakar mendapat gelar Ash-Siddiq ini berhasil menorehkan tinta emas dibidang kebudayaan. Penguat sumber ekonomi Negara melalui baitul mal diperjuangkan sebagai penopang pemerintahan. Adapun langkah politik dan pengembangan kebudayaan Islam pada masa Abu Bakar meliputi:[2]
a. Meneruskan asas Piagam Madinah dengan menjaga persatuan umat Islam dari pemberontakan kaum sparatis, kaum riddah atau kaum murtad, dari pemberontakan nabi palsu dan juga dari pembangkang membayar zakat. Semboyan yang sangat terkenal dalam upaya mempersatukan umat Islam yaitu, “Tauhid, Keadilan, Persaudaraan, dan Kesatuan Muslimin.”
b.  Berhasil mengumpulkan ayat Al-Qur’an dari pelepah kurma, batu tipis-batu tipis dan dari hafalan orang-orang yang hafal Al-Qur’an yang dikerjakan oleh Zaid bin Tsabit.
c.  Sistem pemerintahan belum memisahkan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, kesemuanya ada ditangan khalifah, karena memang kondisi sosial masyarakat pasca kenabian ini masih labil dan perlu kemampuan dan keteladanan dari seorang khalifah. Konsentrasi khalifah mengarah pada usaha perlawanan dari kaum murtad.
Masa yang sangat singkat dalam pemerintahan Abu Bakar ini ternyata banyak menghasilkan perkembangan dari sisi kebudayaan Islam. Dan yang terpenting dalam masa pemerintahannya adalah keberhasilan menyelamatkan umat Islam dari perpecahan sepeninggal Rasulullah. Setelah itu, Abu Bakar juga sudah menorehkan keberhasilannya dalam menegakkan Negara Islam secara politik, karena semua bentuk pembangkang manusia dapat diselesaikan dan semua masyarakat kembali tunduk kepada pemerintahan yang dipimpin oleh Abu Bakar.
Pada masa akhir pemerintahannya, Abu Bakar sebelum meninggal dunia sudah merintis jalan menuju suksesi kepemimpinan. Sejumlah sahabat dan tokoh masyarakat diundang untuk bermusyawarah. Proses musyawarah ditempuh khalifah bersama para sahabat-sahabat yang lain, bahkan sejarah mencatat khalifah dalam memimpin musyawarah untuk menentukan penggantinya itu dalam keadaan sakit. Namun ketulusan dan keputusannya yang rasional dan mudah dipahami oleh sahabat yang lain, akhirnya semua menerima keputusan atas penentuan pengganti khalifah yaitu Umar bin Khattab.

2.      Umar bin khattab
Khalifah Umar bin Khattab sebelum masuk Islam, ia menjadi penentang dakwah Rasul yang hebat. Setelah masuk Islam, Umar bin Khattab menjadi pendamping dan pembela setia nabi Muhammad. Keberadaan Umar bin Khattab ini memiliki pengaruh besar bagi perkembangan Islam. Bagi kafir Quraisy, keberadaan Umar bin Khattab merupakan tokoh yang sangat disegani, pemberani dan menduduki posisi penting sebagai delegasi di kaumnya. Masuk Islamnya Umar bin Khattab merupakan pukulan berat bagi kafir Quraisy. Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat yang ikut hijrah nabi, dan ia memiliki jiwa pemberani. Dengan melihat karakter Umar bin Khattab yang demikian, cukup logis jika Abu Bakar mempersiapkannya sebagai pengganti untuk menduduki jabatan khalifah ke dua.
Setelah khalifah dijabat oleh Umar bin Khattab kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Syiria, Persia dan Mesir. Mengingat begitu luasnya kekuasaan Islam, maka Umar bin Khattab melakukan  penataan pemerintahan dengan mengatur sistem administrasi Negara menjadi beberapa wilayah atau propinsi. Setelah propinsi terbentuk (Makkah, Madinah, Syiria, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir) Umar bin Khattab segera membentuk departemen-departemen dalam pemerintahan. Masa pemerintahannya juga sudah mengenalkan sistem gaji dan pajak tanah.
Masa pemerintahannya berlangsung selama 10 tahun dari 13-23H/634-644M. Dalam kurun waktu itu, banyak terobosan yang dilakukan sehingga pada masa pemerintahannya banyak menghasilkan kebudayaan baru. Perkembangan dan kemajuan Islam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab antara lain:[3]
a.       Mulai ditetapkannya tahun hijriah.
b.      Umat Islam mulai membentuk mata uang sendiri.
c. Menata pemerintahan dengan membentuk departemen-departemen (diwan / administrasi).
d.      Memisahkan lembaga yudikatif dan lembaga eksekutif.
e.       Membagi wilayah kekuasaan Islam ke dalam propinsi yang berotonomi penuh dengan kepala pemerintahan di wilayah propinsi disebut Amir.
f.  Menetapkan wilayah jazirah Arab hanya boleh didiami oleh kaum Muslim saja, sedangkan untuk non muslin diperbolehkan memilih wilayah Bizantium dan Persia.
g.    Dalam bidang hukum didirikan pengadilan dan menetapkan: pertama, tidak melakukan hukum potong bagi pencuri yang mencuri karena alas an kelaparan. Kedua, menghapus bagian zakat bagi para Mu’alaf. Ketiga, menghapus hukum kawin mut’ah (kawin kontrak).
h.      Mendirikan baitul maal untuk mengorganisasikan perpajakan.
i.        Dilaksanakannya sholat terawih pada bulan Ramadhan.
Langkah antisipatif Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam mempersiapkan penggantinya untuk menjalankan roda pemerintahan diikuti oleh Umar bin Khattab pada akhir masa pemerintahannya. Hanya saja Umar tidak menunjuk langsung siapa orang bakal menggantikannya. Untuk melanjutkan pemerintahannya khalifah Umar bin Khattab menunjuk 6 orang sahabat untuk bermusyawarah menentukan siapa yang akan menjadi khalifah (Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auf). Setelah Umar bin Khattab meninggal ditikam seorang budak Abu Lu’lu’ah, enam sahabat tersebut kemudian bermusyawarah menentukan pengganti Umar bin Khattab dan disepakati Usman bin Affan sebagai khalifah.

3.      Usman bin Affan (23-35H/644-655M)
Pemerintahan Usman bin Affan berlangsung selama 12 tahun. Usman bin Affan merupakan sahabat nabi yang gigih berjuang dengan jiwa, raga dan hartanya. Dia menggunakan sebagian besar hartanya untuk kepentingan Islam dan membekali umat Islam. Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, Usman bin Affan menduduki posisi penting. Khalifah Usman bin Affan dikenal memiliki tabiat yang lemah lembut, budi pekerti yang baik dan pada paruh pertama masa pemerintahannya permasalahan sosial politik masih stabil. Dalam menjalankan tugas kekhalifahan, Usman bin Affan menunjuk kerabat dekatnya sebagai pembantu-pembantunya, pada akhir jabatannya roda pemerintahan banyak dikendalikan oleh kerabat dekatnya.
Kepemimpinan Usman bin Affan memiliki garis kebijakan yang berbeda dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Puncak kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahannya adalah banyak sahabat dekat meninggalkan Usman bin Affan, banyak penentangan terhadap pejabat khalifah (amir) yang akhirnya sampai terjadinya pemberontakan dan Usman bin Affan dibunuh. Sejarah perjalanan kepemimpinan Usman bin Affan meski disorot sebagai bentuk kekuasaan nepotisme karena menempatkan kerabat-kerabatnya menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Pada pemerintahan Usman bin Affan banyak jasa dan kebudayaan yang dihasilkannya. Dibawah merupakan fakta sejarah kebudayaan yang dihasilkan pada masa pemerintahan Usman din Affan yaitu meliputi:[4]
a.       Mengizinkan dibangunnya angkatan laut.
b.      Membangun urmah penjara terpisah dari masjid.
c.  Memproklamasikan mushaf resmi yang ditulis oleh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.
d.      Memperindah masjid Nabi di Madinah dengan bahan batu pualam.
e.   Membangun bendungan untuk menjaga arus banjir besar dan mengatur distribusi air kekota-kota Madinah.
f.       Membangun sarana dan prasarana umat, jembatan-jembatan, jalan-jalan dan masjid.
Selain kebudayaan Islam yang sudah disebutkan diatas sebagai hasil masa pemerintahannya, khalifah Usman bin Affan juga telah berhasil menorah kebudayaan baru seperti penetapan pendapatan bulanan bagi para Muadzin, membentuk jawatan kepolisian untuk pengamanan kota. Dengan memperhatikan banyaknya kebudayaan Islam lahir pada masa pemerintahannya tersebut, maka kebijakan khalifah Usman bin Affan dalam menjalankan pemerintahan dapat dijadikan teladan, artinya kebijakan yang diambil benar-benar didasarkan pada situasi sosial politik dan kebutuhan masyarakat.
Setelah khalifah Usman bin Affan wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali untuk menduduki jabatan khalifah menggantikan Usman bin Affan. Para pemuka umat Islam ini membaiat Ali ada yang murni membaiat secara langsung, ada yang membaiat dengan persyaratan penegakan hukum dan mengadili pembunuh Usman bin Affan dan terakhir adalah dengan terpaksa melakukan pembaiatan. Dengan demikian, naiknya sahabat Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah tidak mulus seperti tiga sahabat sebelumnya. Latar belakang naiknya Ali menduduki khalifah tersebut ternyata berbuntut dan berpengaruh pada masa pemerintahannya.
Situasi sosial politik pasca pembunuhan Usman bin Affan menjadi kurang kondusif. Berbagai pergolakan sering terjadi dan masyarakat mengajukan tuntutan kuat, agar Ali bin Abi Thalib menuntaskan kasus terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Kasus ini berkepanjangan karena tuntutan masyarakat tidak segera diselesaikan. Khalifah Ali lebih berkonsentrasi mengatasi pada sumber permasalahan instabilitas sosial politik dalam pemerintahannya.

4.      Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu seorang sahabat dan sekaligus sebagai menantu Rasulullah. Dalam sejarah Islam Ali bin Abi Thalib merupakan khalifah ke empat atau khalifah terakhir era pemerintahan Khulafaurrasyidin. Pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, sejarah mencatat kondisi sosial politik Negara berada pada posisi yang paling sulit, ketidak puasan masyarakat dan perpecahan sahabat terjadi, bahkan konflik politik yang ada sampai berujung pada peperangan.
Selama pemerintahan Ali bin Abi Thalib, selalu timbul  pemberontakan yang terus menerus, tidak ada masa sedikitpun dapat dikatakan stabil. Konflik sosial politik pada masa ini terjadi lebih disebabkan oleh:
a.  Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah yang keempat tidak dibaiat secara bulat oleh kaum muslimin, bahkan tokoh-tokoh muslim yang pada masa hidupnya dikenal sangat dekat dengan Nabi sampai beberapa waktu lamanya tidak segera membaiat Ali misalnya, Zubair, Tolhah bahkan Aisyah sendiri tidak mau membaiat Ali bin Abi Thalib.
b.  Persoalan kaum muslimin yang mengancam disintegrasi bangsa pada saat itu juga dipicu oleh kebijakan khalifah sebelumnya yaitu pada masa Usman bin Affan yang memunculkan kekecewaan sebagaian besar kaum Muslimin.
Untuk mengatasi kondisi perpolitikan dalam negeri yang tidak stabil tersebut, Ali bin Abi Thalib melakukan tindakan antara lain: mengganti gubernur yang diangkat oleh khalifah Usman bin Affan, menarik kembali tanah yang dihadiahkan oleh Usman bin Affan kepada penduduk dan menyerahkan hasilnya kepada Negara memakai kembali sistem distribusi pajak yang pernah diberlakukan pada masa Umar bin Khattab, dan dihapus pada masa khalifah Usman bin Affan, dan memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kuffah.[5]
Ketidak puasan di lingkungan sahabat atas kebijakan Ali bin Abi Thalib dengan menunda-nunda penuntasan dan menghukum pembunuh Usman bin Affan, menjadi pemicu pecahnya perang antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan kekuatan yang dimotori oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair yang kemudian dikenal dengan perang Jamal (perang onta), karena waktu peperangan Aisyah di medan perang menaiki onta. Peristiwa peperangan ini bisa diselesaikan dan kemenangan berada pada pihak khalifah Ali bin Abi Thalib.
Setelah perang Jamal diselesaikan, khalifah Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan pihak oposisi yang terdiri dari golongan orang-orang yang kehilangan jabatan penting akibat kebijakannya. Barisan orang-orang kecewa ini bergabung dengan kekuatan gubernur Damaskus Mu’awiyah bin Abi Sofyan untuk melakukan penentangan terhadap khalifah. Peperangan tidak bisa dihindarkan, dua pasukan bertemu di sebuah tempat yang sekaligus menjadi nama perang itu sendiri yaitu Siffin, sehingga peperangannya dikenal dengan nama perang Siffin. Peperangan Siffin diakhiri dengan perundingan atau tahkim (arbitrase) antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Hasil dari perundingan ini merugikan khalifah Ali dan menguntungkan Mu’awiyah.
Pada periode akhir masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, kekuatan politik umat Islam terbelah menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib (Syiah), kelompok Khawarij yaitu orang-orang yang tadinya ikut khalifah Ali bin Abi Thalib kemudian keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib, dan kelompok terakhir adalah pengikut Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Kondisi ini hanya menjadikan semakin lemah posisi khalifah dalam mengahadapi benih-benih perpecahan dalam tubuh umat Islam.
Persoalan politik umat Islam bergeser dari sistem kekhalifahan menjadi sistem kerajaan yang absolute berada dalam kekuasaan Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Dan berakhirnya kekuasaan Khulafaurrasyidin dan berdirinya kekuasaan Umayah. Soal pergantian kepemimpinan (khalifah) terjadi perubahan mendasar, dari sistem musyawarah yang menempatkan kedaulatan umat Islam menjadi faktor penting bergeser ke sistem kerajaan yang penentuan suksesi kepemimpinannya berlangsung secara turun-temurun. Pada kenyataannya pasca pemerintahan Khulafurrasyidin yang digantikan Mu’awiyah prinsip musyawarah ini sengaja ditinggalkan dan digantikannya dengan sistem penujukkan langsung oleh khalifah. Dengan terbunuhnya Ali, berakhir pula khulafauurasyidin yang sesuai dengan manhaj Allah secara sepenuhnya.


[1] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), hlm. 142.
[2] Khoiro Ummatin, Sejarah Islam dan Budaya Lokal Kearifan Islam atas Tradisi Masyarakat, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm. 60.
[3] Ibid., hlm, 65.
[4] Ibid., hlm, 67-68.
[5] Ahmad al-Usairy., hlm, 173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kumpulan Video PAI

Video - Proses Zakat Video - Praktek Tayamum Video - Praktek Wudhu Video - Cara Memakai Mukena yang Benar Video - Ijab Qabul (Baper Sang...