A.
Teori Masuknya Islam di Indonesia
Lahirnya
agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad ke-7 M, menimbulkan
suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia.
Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam
pertumbuhan dan perkembangannya.
Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan
sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarah
perkembangan awal Islam. Suatu
kenyataan bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai.[1]
Islam
dalam batas-batas tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh
para guru agama dan pengembara sufi. Orang yang terlibat dalam penyebaran islam
tidak bertendensi, mereka hanya melakukan kewajiban tanpa pamrih, sehingga
nama-nama mereka berlalu begitu saja. Dampaknya ialah terjadi perbedaan
pendapat mengenai kedatangan islam pertama kali di Indonesia. Secara
garis besar perbedaan pendapat itu dapat dibagi sebagai berikut:
1. Dipelopori oleh
sarjana-sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouck Hurgronje yang
berpendapt bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dari Gujarat
dengan bukti ditemukannya makam sultan yang beragama Islam pertama Malik
as-Sholeh, raja pertama kerajaan samudra pasai yang dikatakan berasal dari
gujarat.
2. Dikemukakan
oleh sarjana-sarjana Muslim, diantaranya Prof. Hamka, yang mengadakan “Seminar
Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan tahun 1963. Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa islam sudah datang ke
Indonesia pada abad pertama Hijriyah (± abad ke-7 sampai 8 M) langsung dari
Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah
dimulai jauh sebelum abad ke-13 melalui selat malaka tang menghubungkan Dinasti
Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia
Barat.
3. Sarjana Muslim
kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut.
Menurutnya memang benar Islam sudah datang ke indonesia sejak abad pertama
Hijriyah atau abad ke-7 M, tetapi baru dianut oleh pedagang Timur Tengah di
pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai
kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya Kerajaan Samudra Pasai.[2]
B. Cara-cara
Islamisasi di Indonesia
Kedatangan
Islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat umum dilakukan
secara damai, apabila situasi politik kerajaan mengalami kekacauan dan
kelemahan, disebabkan perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana, maka
Islam dijadikan alat politik bagi pihak-pihak yang menghendaki kekuasaan itu.
Mereka berhubungan dengan pedagang–pedagang muslim yang posisi ekonominya kuat
karena menguasai pelayaran dan perdagangan.[3]
Dari
paparan di atas dapat dijelaskan bahwa tersebarnya Islam ke Indonesia adalah
melalui saluran-saluuran sebagai berikut:
1. Perdagangan,
yang menggunakan sarana pelayaran
2. Dakwah, yang
dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang. Para mubaligh
itu bisajadi juga para sufi pengembara.
3. Perkawinan,
yaitu perkawinan antara pedagang muslim mubaligh dengan anak bangsawan
Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga
muslim dan masyarakat muslim. Dengan perkawinan itu secara tidak langsung orang
muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat kharisma
kebangsawanan. Lebih-lebih
apabila pedagang besar kawin dengan putri raja, maka keturunannya akan menjadi
pejabat birokrasi.[4]
4. Pendidikan,
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang
diselenggarakan oleh guru-guru agama, kyai-kyai, dan ulama-ulama. Di pesantren
atau pondok itu calon ulama, guru agama dan kyai mendapat pendidikan agama.
Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing atau
berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan islam. Misalnya, pesantren yang
didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri.
Keluaran pesantren giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan
agama Islam.[5]
5. Tasawuf,
pengajar-pengajar tasawuf, atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur
dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir
dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan.[6]
Mereka
juga ada yang kemudian diangkat menjadi penasehat dan atau pejabat agama di
kerajaan. Di Aceh ada Syaikh Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin ar
Raniri, Abd. Rauf Singkel. Demikian juga kerajaan-kerajaan di Jawa mempunyai
penasehat bergelar wali, yang terkenal adalah Wali Songo.
Para sufi
menyebarkan Islam melalui dua cara:
a. Dengan
membentuk kader mubaligh, agar mampu menyebarkan agama Islam di daerah asalnya.
b. Melalui
karya-karya tulis yang tersebar dan dibaca diberbagai tempat. Di abad ke 17,
Aceh adalah pusat perkembangan karya-karya keagamaan yang ditulis para ulama
dan para sufi.
6. Kesenian,
saluran yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa
adalah seni. Wali Songo, terutama Sunan Kali Jaga, mempergunakan banyak cabang
seni untuk islamisasi, seni arsitektur, gamelan, wayang, nyanyian, dan seni
busana.[7]
7. Politik, di
Maluku dan Sulawesi selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya
memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya
Islam di daerah ini. Disamping itu, baik di Sumatra dan Jawa maupun di
Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam
memerangi kerajaan-kerajaan non Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis
banyak menarik penduduk kerajaan non Islam itu masuk Islam.[8]
C. Perkembangan
Islam di Nusantara
Islam
di Indonesia (Asia Tenggara) merupakan salah satu dari tujuh cabang peradaban
Islam (sesudah hancurnya persatuan peradaban islam yang berpusat di Baghdad
tahun 1258). Ketujuh cabang perdaban Islam itu secara lengkap adalah
peradaban Islam Arab, Islam Persi, Islam Turki, Islam Afrika Hitam, Islam anak
benua India, Islam Arab Melayu, dan Islam Cina. Kebudayaan yang disebut Arab
Melayu tersebar di wilayah Asia Tenggara memiliki ciri-ciri yang universal. Kemunculan
dan perkembangan Islam di kawasan itu menimbulkan transformasi kebudayaan
(peradaban) lokal, dari sistem keagamaan lokal kepada sistem keagamaan Islam
yang bisa disebut revolusi agama. Transformasi masyarakat melayu kepada Islam
terjadi bebarengan dengan “masa perdagangan,” masa ketika Asia Tenggara
mengalami peningkatan posisi dalam perdagangan Timur-Barat. Masa ini
mengantarkan wilayah nusantara kedalam internasionalisasi perdagangan dan
kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat di kawasan ini
pada masa-masa sebelumnya. Konversi
masal masyarakat nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena
beberapa sebab, yaitu:
1. Portabilitas
(siap pakai) sistem keimanan Islam. Sebelum islam datang, sistem kepercayaan
lokal berpusat pada penyembahan arwah nenek moyang yang tidak portable. Oleh
karena itu penganut kepercayaan ini tidak boleh jauh dari lingkungannya, sebab
kalau jauh mereka tidak akan mendapat perlindungan dari arwah yang mereka puja.
2. Asosiasi Islam
dengan kekayaan. Ketika penduduk peribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi
dengan orang muslim pendatang dipelabuhan, mereka adalah pedagang kaya raya.
Karena kekayaan dan kekuatan ekonominya, mereka bisa memainkan peran penting
dalam bidang politik entitas lokal dan bidang diplomatik.
3. Kejayaan
militer. Orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan
4. Memperkenalkan
tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara
yang sebagaian besar belum mengenal tulisan, sedangkan sebagian yang lain sudah
mengenal huruf Sanskrit. Pengenalan tulisan Arab memberikan kesempatan lebih
besar untuk mempunyai kemampuan membaca (literacy). Islam juga meletakkan
otoritas keilahian pada kitab suci yang dituliskan dalam bahasa yang tidak
dikuasai penduduk lokal sehingga memperkuat bobot saklaritasnya
5. Mengajarkan
penghapalan. Para penyebar Islam menyadarkan otoritas sakral. Mereka membuat
teks-teks yang ditulis untuk menyampaikan kebenaran yang dapat dipahami dan
dihapalkan. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk
kepentingan ibadah-ibadah seperti shalat.
6. Kepandaian
dalam penyembuhan. Di Jawa terdapat legenda yang mengaitkan penyebaran Islam
dengan epidemi yang melanda penduduk. Tradisi tentang konversi kepada islam
berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan.
7. Pengajaran
tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat.
Misalnya, orang yang taat akan dilindungi tuhan dari segala arwah dan kekuatan
jahat.[9]
Melalui
sebab-sebab tersebut Islam dapat diterima dan mendapatkan pengikut banyak
dengan cepat, sebab islam tidaklah menolak dengan keras, namun secara bertahap
dan berkesinambungan. Islam adalah agama yang universal yang berfungsi untuk
mendatangkan kesejahteraan bagi umat manusia.[10]
Adapun
faktor lain yang mendukung penyebaran Islam cepat berkembang di Indonesia
adalah seperti berikut: Ajarannya
sederhana, mudah dimengerti dan diterima. Syaratnya
mudah, hanya dengan mengucapkan kalimat syahadat, yang berisi pengakuan adanya
Tuhan Yang Maha Esa dan Muhammad utusan Tuhan.
Islam
tidak mengenal kasta, sehingga lebih mudah menarik bagi rakyat biasa yang
jumlahnya justru lebih besar. Upacara-upacara
keagmaan sangat sederhana. Islam
disebarkan dengan cara damai lewat kesenian dan akulturasi dengan kebudayaan
setempat. Jatuhnya Majapahit
dan Sriwijaya menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam berkembang pesat.[11]
[11] http://sejarahnasionaldandunia.blogspot.com/2013/02/proses-masuknya-islam-ke-indonesia.html di
akses hari kamis, 26 september 2013
Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Suatu kenyataan bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai.[1]
[11] http://sejarahnasionaldandunia.blogspot.com/2013/02/proses-masuknya-islam-ke-indonesia.html di
akses hari kamis, 26 september 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar