A. Pengertian Anak Angkat, Anak Pungut, Anak Hasil Zina dan Anak Hasil InseminasiAnak menurut Kamisa dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern adalah keturunan kedua.[1] Pengertian ini memberikan gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak merupakan suatu karunia akibat adanya perkawinan antara kedua orang tua.
Pengertian anak angkat secara bahasa atau etimologi dapat diartikan sbagai berikut: Pertama, anak angkat dalam bahasa arab disebut “tabanny” yaitu suatu kebiasaan pada masa jahiliyah dan permulaan Islam yaitu apabila seorang yang mengangkat anak orang lain sebagai anak, yaitu berlakulah hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung dan menurut Muhammad Yunus mengartikannya dengan mengambil anak angkat, sedangkan dalam kamus Munjid diartikan ‘ittikhhadzahu ibnan’, yaitu manjadikannya sebagai anak. Kedua anak angkat yang berasal dari kata “luqata” yang berarti mengambil anak pungut artinya pengangkatan anak yang belum dewasa ditemukan dijalan dan tidak diketahui keturunannya.[2]
Pengertian anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya dialihkan dari tanggungan orang tua asal kepada orang tua angkat. Pengangkatan anak juga dikenal dengan istilah adopsi yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “adoptie” atau “adopt “. Pengertiannya dalam bahasa belanda menurut kamus hukum adalah pengangkatan seorang anak untuk dijadikan anak kandung. Sejalan dengan pengeratian anak angkat, KHI kemudian memasukkan akibat hukum dari pengangkatan anak menurut Mu’thi Artho, yaitu:
a. Beralih tanggung jawab pemeliharaan hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya dari orang tua asal kepada orang tua angkat.
b. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah/nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya sehingga tetap berlaku hubungan mahram dan saling mewarisi.
c. Pengangkatan anak tidak menimbulkan hubungan darah/nasab antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.
2. Anak Pungut
Anak pungut adalah anak yang hidupnya tersia-sia, tidak diakui dan dijamin oleh seseorang kemudian diambil orang lain. Dalam istilah bahasa arab disebut laqith, ditinjau dari sisi bahasa artinya anak yang ditemukan terlantar di jalan, tidak diketahui siapa ayah dan ibunya. Demikian definisi yang tercantum dalam kitab Al-Lisan dan itab Al-Mishbah biasnya laqiith adalah anak yang dibuang oleh orang tunya.[3]
Ditinju dari istilah syar’i adalah sebagai berikut:
a. Mazhab Hanafi, laqiith adalah sebutan untuk seorang bayi yang dibuang oleh keluarganya karena takut miskin atau untuk menghindari tuduhan telah berbuat aib.
b. Mazhab Syafi’i, laqiith adalah setiap bayi yang terlantar dan tidak ada yang menafkahinya.
c. Mazhab Hambli, laqiith adalah anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz (dewasa) yang tidak diketahui nasbnya dan terlantar, atau tersesat di jalan.
Untuk mengkompromikan semua pendapat ini, maka dapat disimpulkan Laqiith adalah anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz yang tidak diketahui nasabnya yang tersesat di jalan atau dibuang oleh keluarganya karena takut miskin atau menghindari tuduhan jelek , atau karena alasan lain.
3. Anak Hasil Zina
Menurut Al-Jurjani zaina adalah memasukkan dzakar ke dalam farji yang bukan istrinya.[4] Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan perbuatan dapat dikatakan zina jika adanya persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya. Jika ada dua orang yang berbeda jenis kelamin bermesraan seperti berciuman atau berpelukan belum dikatakan berzina yang dijatuhi hukum Dera dan ataupun Rajam, tetapi mereka bisa dihukumi Ta’zir dengan tujuan mendidik.[5]
Dengan demikian yang dimaksud dengan anak hasil zina adalah anak yang terlahir dari rahim seorang wanita akibat dari bertemunya dua jenis kelamin antara laki-laki dan wanita tanpa adanya hukum yang sah dan dilakukan dengan tanpa kekeliruan atau kesalahan. Dengan demikian status anak hasil zina bernasab kepada pihak ibu bukan bapak yang menyebabkan wanita itu hamil.
4. Anak Hasil Inseminasi
Kata inseminasi berasal dari bahasa Inggris “insemination” yang artinya pembuahan atau penghamilan secara teknologi, bukan secara alamiah. Kata inseminasi itu sendiri, dimaksudkan oleh dokter Arab, dengan istilah التَّلْفِيْحُ dari fi’il (kata kerja) لَقَّحَ-يُلَقِّحُ menjadiتَلْقِيْحًا yang berarti mengawinkan atau mempertemukan (memadukan).
Kata talqih yang sama pengertiannya dengan inseminasi, diambil oleh dokter ahli kandungan bangsa Arab, dalam upaya pembuahan terhadap wanita yang menginginkan kehamilan.
Sedangkan pengertian bayi tabung disebutnya sebagai istilah: طِفْلُ اْلأَنَابِيْتِ yang artinya jabang bayi; yaitu sel telur yang telah dibuahi oleh sperma yang telah dibiakkan dalam tempat pembiakan (cawan) yang sudah siap untuk diletakkan ke dalam rahim seorang ibu.
B. Pandangan Ulama Tentang Status dan Hukum Anak Angkat, Anak Pungut, Anak Hasil Zina dan Anak Hasil Inseminasi
1. Status dan Hukum Anak Angkat
Kedudukan anak angkat terhadap harta waris menurut pandangan Islam ada beberapa pendapat diantaranya yaitu:[6]
a. Menurut Ulama klasik
Anak angkat menurut Pendapat Ulama klasik tidaklah mendapatkan hak waris, karena tidak adanya hubungan darah atau perkawinan, namun KHI mengisyaratkan dengan cara memberi wasiat wajibah terhadap anak angkat. Yang mana melaksanakan wasiat menurut Imam empat madzhab, hukum asalnya sunnah berdasarkan kata yuridu (arab) dalam hadits yang diriwayatkan Imam Maliki dari An-Nafi sebagai berikut : "Tidak ada hak bagi seorang Muslim yang mempunyai sesuatu (yuridis) ingin diwasiatkannya yang sampai bermalam dua malam, maka wasiat itu wajib tertulis baginya".
Para Imam empat madzhab berpendapat bahwa berwasiat hendaknya sunah dengan alasan, karena tidak ada dalil yang menyatakan Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakannya. Namun demikian wasiat dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh bahkan haram tergantung pada maksud dan tujuannya.
b. Analisis Hukum Kewarisan Anak Angkat Menurut Organisasi
1) Muhammaddiyah
Dari ayat al-Qur’an di atas, diperoleh ketegasan bahwa anak angkat tidak boleh diakui dan disamakan sebagai anak kandung, sehingga dalam pembagian harta warisan, anak angkat yang tidak memiliki hubungan nasab atau hubungan darah dengan orang tua angkatnya tidak dapat saling mewarisi.
Dengan kata lain anak angkat tidak mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya, demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak mewarisi harta warisan anak angkatnya. Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan disebutkan sebagai penerima wasiat; sebagaimana disebutkan dalam Pasal 209 ayat (2): “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajiblah sebanyak-banyaknya 1/3 harta orang tua angkatnya”.
Atas dasar ketentuan tersebut, maka jika dua orang anak angkat sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan ini, tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia berhak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya.
2) Nahdlatul Ulama
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa tentang Adopsi. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan bahwa "Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah."[7]
Sebagai dasar hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW. "Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya." Qatadah berkata, siapapun tidak boleh mengatakan "Zaid itu putra Muhammad". (Khazin, Juz Vi hlm 191) "Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nasab, mahram maupun hak waris," papar ulama NU dalam fatwanya.
Jadi anak angkat tidak berhak menerima harta warisan, tetapi dengan melihat kasih sayang diberikan si anak angkat dan perjuangannya dalam mengurus orang tua angkatnya maka demi kemaslahatan Ulama NU sepakat dengan keputusan KHI bahwa anak angkat berhak menerima harta dengan jalan diberikannya wasiat wajibah.
2. Status dan Hukum Anak Pungut
Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa anak yang tersia-siakan dari orang tuanya lebih patut dinamakan Ibnu Sabil yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya.[8]
Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Oleh karena itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan fardlu kifayah. Karena bila pengasuhan jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak memperdulikan mereka, sudah pasti akan diminta pertanggungjawaban Allah SWT.
Berdasarkan uraian tentang pengertian dan pendapat ulama tentang hukum anak pungut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa memungut anak yang tersia-siakan merupakan fardlu kifayah bagi ummat Islam. Karena dengan memungut anak tersbut, selain menyelamatkan jiwa juga memungkinkan menyelamatkan anak tersebut dari kemungkinan memeluk non-muslim jika dipungut oleh ummat non-muslim.
Dasar hukum yang digunakan sebagai dasar memungut anak yang tersia-siakan sudah sangat jelas baik dari nash Al-Qur’an mupun dari Hadits. Setelah anak tersebut dipungut maka status anak tersebut adalah sama dengan status anak angkat dalam hal waris mewaris dan mahram terhadap keluarga angkatnya.
3. Status dan Hukum Anak Hasil Zina
Menurut Ulama ada dua akibat nyata yang diterima oleh anak Hasil Zina dikarenakan perbuatan salah orang tuanya, yaitu:
a. Hilangnya martabat Mahram dalam keluarga
1) Menurut Imam Malik dan Imam syafi’i, jika anak hasil zina itu perempuan, maka antara bapak dengan anak tersebut dibolehkan menikah, baik saudara perempuan, cucu perempuan, keponakan perempuannya yang semuanya dari hasil zina.[9]
2) Menurut Mazhab Syi’ah Imamiyah. Hanafiyah dan Hambaliyah menyatakan haram menikahi anak hasil zinanya dengan alasan meskipun anak tersebut hasil zina namun tetap dianggap sebagai anak menurut pengertian bahasa dan adat/tradisi. Karena itu haram hukumnya menikahinya.[10] Pendapat ini merupakan pendapat yang berdasarkan alasan akal manusiawi karena melihat secara zahir bahwa anak tersebut merupakan hasil dari perbuatannya dan secara biologis dia merupakan darah dagingnya sendiri. Menurut mereka bertiga, keharaman tersebut dilihat secara tradisi saja, namun secara syara’ yang shahih mereka juga membolehkan pernikahan tersebut. Secara hak perwalian ketika menikah maka Jumhur Ulama sepakat bahwa orang tua secara biologis tersebut tidak memiliki hak untuk menikahkan anaknya kelak ketika anaknya menikah.
b. Hilangnya hak waris dalam keluarga.
Hukum Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak hasil zina kepada bapaknya. Itu karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Sedangkan hubungan kekerabatan tersebut timbul karena adanya ikatan nikah, sehingga anak diluar nikah tidak dapat dijadikan hubungan kekerabatan untuk mendapatkan warisan.
1) Menurut Ahlu Sunnah dan Mazhab Hanafiyah menyebutkan anak hasil zina memiliki hubungan kewarisan dengan ibunya dan kerabatnya. Dengan demikian, ia hanya dapat mewarisi dari pihak ibu saja.
2) Golongan Syi’ah menganggap bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hak waris baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Karena warisan merupakan suatu ni’mat bagi ahli waris. Sedangkan zina merupakan suatu kemaksiatan sehingga keni’matan atau anugerah tidak dapat dicampurkan dengan kemaksiatan.[11]
4. Status Anak Hasil Inseminasi
Ada beberapa pandangan Ulama tentang Hukum Inseminasi diantaranya yaitu:[12]
a. Haram apabila Inseminasi buatan dengan sperma dan/atau ovum donor orang lain. Hukumnya sama dengan zina dan anak yang lahir dari hasil inseminasi macam ini/bayi tabung ini statusnya sama dengan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
b. Boleh Inseminasi buatan dengan sel sperma dan ovum dari suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain (ibu titipan) diperbolehkan Islam, jika keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukannya (ada hajat, jadi bukan untuk kelinci percobaan atau main-main). Dan status anak hasil inseminasi macam ini sah menurut Islam.
c. Pemerintah hendaknya melarang berdirinya Bank Nuthfah/Sperma dan Bank Ovum untuk pembuatan bayi tabung, karena selain bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, juga bertentangan dengan norma agama dan moral, serta merendahkan harkat manusia sejajar dengan hewan yang diiseminasi tanpa perlu adanya perkawinan.
d. Pemeritah hendaknya hanya mengizinkan dan melayani permintaan bayi tabung dengan sel sperma dan ovum suami istri yang bersangkutan tanpa ditransfer ke dalam rahim wanita lain (ibu titipan), dan pemerintah hendaknya juga melarang keras dengan sanksi-sanksi hukumannya kepada dokter dan siapa saja yang melakukan inseminasi buatan pada manusia dengan sperma dan/atau ovum donor.
[2] Ibrahim Lubis (http://www.anekamakalah.com.kedudukan-anak-angkat-terhadap-harta) diakses pada tanggal 15 Mei 2018.
[6] Ibrahim Lubis (http://www.anekamakalah.com.kedudukan-anak-angkat-terhadap-harta) diakses pada tanggal 15 Mei 2018.
[7] http://bintuaby92.bolgspot.co.id/2014/05/anak-angkat-anak-pungut-anak-hasil-zina_6.html?m=1 diakses pada tanggal 14 Mei 2018.
[8] Yusuf El-Qardlawi, (t.Th), Halal dan Haram dalam Pandangan Islam, (Jakarta: PT Bina Ilmu, 1993), 53-54.
[12] http://bintuaby92.bolgspot.co.id/2014/05/anak-angkat-anak-pungut-anak-hasil-zina_6.html?m=1 diakses pada tanggal 14 Mei 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar